Keutamaan Yang Terabaikan

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya ) hal ihwalmu.” (Q.S. Muhammad [47] : 31)
Ada satu fenomena menarik yang tampaknya dapat menjadi indikasi betapa sebagian besar manusia kerapkali kurang pandai menentukan skala prioritas dalam melakukan suatu tindakan ataupun mengerjakan suatu amalan. Lihatlah, misalnya dalam sebagaian dari prosesi amalan orang-orang ketika menunaikan ibadah umrah atau haji. Di Masjidil Haram ada yang namanya Multazam, yakni satu tempat yang mega mustajab. Letaknya antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Orang-orang yang ingin mencium Hajar Aswad jumlahnya ratusan. Sehingga berdesak-desakan. Akan tetapi yang sungguh mengherankan adalah mengapa orang-orang yang memilih berada di Multazam jumlahnya amat sedikit? Sungguh tidak sebanding dengan mereka yang mau mencium Hajar Aswad. Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah orang yang thawaf, yang jumlahnya beratus-ratus apalagi ketika musim haji, jumlah itu bahkan bisa sampai beribu-ribu.
Padahal justru tempat inilah yang dijanjikan Allah amat mustajab. Mengapa gerangan? Sekiranya mau kita banding-banding antara kedua tempat itu, akan tampak kenyataan bahwa keutamaan (fadhilah) berdoa di Multazam itu, wallahu a’lam, lebih tinggi daripada mencium Hajar Aswad. Mencium Hajar Aswad itu hukumnya sunnah; dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakan sekalipun tidak menjadi dosa. Akan tetapi, kalau untuk dapat menciumnya saja harus berdesakan dan berebutan, sehingga sampai-sampai harus saling sikut dan saling dorong, tidaklah ini termasuk perbuatan zhalim?
Bagi yang pernah melaksanakan unrah atau haji, pemandangan orang-orang saling berebut untuk mencium Hajar Aswad itu, memang tampak begitu.
Orang-orang yang sedang dalam prosesi ibadah umrah/haji itu sendiri akan memaklumi keadaan itu. Betapa tidak! Untuk sampai dapat menciumnya saja alangkah susahnya karena setiap orang sama-sama ingin dapat lebih dulu. Apalagi untuk keluar dari kerumunan setelah usai melakukan ibadah tersebut. Akibatnya, tangan bisa secara reflek menyikut, mendorong kepala, dan sebagainya. Alih-alih ingin memperoleh pahala sunnah, malah bisa jadi kita menyakiti orang lain. Bukankah itu sangat potensial berakibat dosa?
Anehnya terhadap Multazam yang notabene tempat yang teramat mustajab, orang-orang sepertinya tidak berminat. Akibatnya, orang-orang yang mendatangi tempat itu jumlahnya sedikit saja. Sekiranyakita memilih berdoa disana, suasananya akan terasa relatif tenang karena tidak saling mengganggu, sehingga kita pun bisa berdoa secara lebih khusyuk.
Dari kisah yang dipaparkan tersebut hikmah yang dapat dipetik, banyak, ternyata di antara kita yang kurang memiliki kemampuan untuk menentukan prioritas (hampir) dalam setiap tindakan. Ketika hendak melakukan sesuatu, kerapkali kita hanya terdorong oleh rasa suka atau sekadar karena ingin belaka, yang tentunya tanpa didasari pengetahuan, pemikiran, dan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu alangkah bijaksananya kita seandainya dalam mengambil suatu tindakan kuncinya ternyata terletak pada diri kita sendiri, sekiranya disadari bahwa diri kita memiliki karakter yang kurang baik, maka keinginan untuk mengubahnya menjadi baik, bukanlah datang dari orang lain, melainkan dari diri sendiri. Kesungguhan untuk berproses meniti perubahan dari waktu ke waktu itulah yang Insya Allah akan membuahkan kedewasaan, kearifan dan kematangan hidup. Wallahu a’lam bish showab

Tenang Dalam Setiap Masalah

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Saudaraku yang baik, ketenangan menjadi sesuatu yang dibutuhkan setiap orang. Terutama ketika sedang menghadapi masalah atau saat hendak mengambil keputusan. Orang yang tenang tidak pernah galau, panik tergesa-gesa, tidak emosional, tidak overacting. Orang tenang akan bisa menerima informasi lebih banyak, hingga dia bisa lebih memahami. Sedangkan orang yang emosional pendek kemampuan memahaminya, akibatnya kalau merespon akan tidak bagus karena keterbatasan pemahamannya.
Ketenangan pun akan membawa kewibawaan, atau karisma tersendiri bagi pemiliknya. Ia akan disegani oleh teman dan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang overacting tidak akan memiliki kharisma. Terutama, kepada para calon pemimpin dalam skala apapun, ia harus berlatih mengendalikan diri, tetap tenang dalam kondisi bagaimanapun sulitnya. Dan, tenang bukan berarti lamban. Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling tenang, tetapi berjalannya sangat gesit. Karena ketenangan tidak ada kaitannya dengan waktu, melainkan dengan pengendalian diri, artinya dia tetap gesit, tangkas tidak ada gurau berlebih, atau berteriak-teriak. Pribadi yang kalem senyum berukir jernih, tidak pula banyak bicara kalau memang tidak perlu bicara. Akibatnya, orang yang tenang mendapat ilmu yang lebih banyak, mendapatkan kemampuan memilih keputusan lebih baik.
Namun, ketenangan harus diupayakan agar tidak berujung menjadi sombong. Cirinya adalah ketika ia tidak peduli kepada orang lain. Dia diam tapi tidak mau mendengarkan. Malah mungkin asyik melakukan kegiatan yang lain (saat orang lain berbicara padanya). Atau, ada orang yang diam karena dia tengah memikirkan bantahan kepada orang lain, bukannya mengemas manfaat dari pembicaraan yang didengarnya.
Sehingga, tenangya kita responsif, tidak justru pelit. Reponsif seseorang memang bisa dipengaruhi oleh banyaknya keinginan, demografi (asal tempat menetapnya), lingkungan, tekanan kesulitan. Namun itu bisa diubah kalau memang ingin berubah. Nabi Muhammad SAW sendiri tertawa bila orang lain tengah melucu. Demikian pula bagi seorang pemimpin, keputusan terbaik adalah ketika ia memang memiliki akses informasi lengkap. Makin lengkap informasi makin akurat keputusannya. Dan informasi itu sendiri tidak boleh diambil hanya dari satu pihak. Kita harus belajar dari kedua belah pihak, baru mengambil keputusan. Dan yang harus kita sadari adalah tidak ada keputusan tanpa resiko, semua keputusan ada resikonya. Kita hanya perlu menghitung resiko yang paling minimal. Wallahu a’lam.

Syarat-Syarat Keindahan

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Sedang kita mahluknya yang dhaif, sering memandang keindahan itu hanya sebatas topeng saja. Padahal keindahan yang hakiki tidak hanya berasal dari topeng, tapi dari dalam jiwa kita (inner beauty).
Semoga Allah Yang Maha Indah mengaruniakan kita akhlak yang indah. Dengan Rahmat-Nya, Allah menanamkan pada hati hamba-hamba-Nya rasa suka akan keindahan. Kita semua senang dengan keindahan. Kita senang dengan alam yang indah. Kita senang melihat awan biru yang disulam burung-burung berterbangan. Orang pun berbondong-bondong pergi ke pantai yang indah, tak ada gelombang yang menakutkan. Selain itu, kita pun senang mendengar suara yang indah. Intinya, semua orang menyukai hal yang indah-indah. Itu adalah fitrah.
Pertanyaannya sekarang, kenapa ada orang yang penampilannya indah tapi ia tidak disukai orang lain? Kenapa ada orang yang memiliki rumah yang megah tapi hidupnya tidak bahagia ? Kenapa ada orang yang suaranya indah, tapi akhirnya ia mengalami nestapa ? Sebaliknya, ada orang tua yang secara fisik tidak menarik, tapi dicintai banyak orang. Ada orang yang tunanetra tapi suaranya dipuji banyak orang. Pasti ada apa-apanya dibalik fenomena tersebut.
*****
Keindahan itu memiliki beberapa syarat. Pertama, indah itu letaknya pada kebersihan. Bersih di sini bisa bersifat fisik ataupun bersifat nonfisik. Bersih secara fisik meliputi bersih anggota badan, penampilan, lingkungan, maupun bersih penghasilan. Saudaraku, bila kita ingin menjadi pribadi indah, maka cintailah hidup bersih. Secara fisik mulailah kita rawat tubuh kita agar selalu bersih. Rambut, gigi, mata, kuku, dan seluruh anggota badan lainnya, usahakanlah terjaga kebersihan dan kerapiannya. Begitu pula penampilan kita harus selalu dijaga kebersihannya. Seandainya kita tidak punya baju yang bagus, maka usahakanlah dijaga kebersihannya.
Usahakan pula rumah kita selalu bersih, baik itu bersih dari sampah dan debu, juga bersih dari barang-barang haram maupun barang yang tidak perlu, itu secara fisik. Tidak kalah penting adalah bersih akhlak kita, karena secantik dan setampan apapun seseorang, bila
kelakuan dan ucapannya kotor, maka ia tidak akan punya harga, jatuh harga dirinya. Begitu pula dengan pikiran, hindarilah berpikir kotor, mesum, atau berpikir jelek tentang orang lain. Berpikirlah selalu tentang kebaikan orang lain, karena semakin kita memikirkan kejelekan orang, maka akan semakin tersiksa diri kita. Tentunya, semua kebersihan ini tidak terasa lengkap tanpa disertai oleh bersihnya hati. Bila hati kita bersih,
maka wajah kita akan terlihat cerah, perilaku santun, kata-kata terjaga, dan sikap kasih sayang akan terpancar dari pribadi kita. Bila kita mampu membersihkan jasmani dan rohani, insya Allah akan menjadi pribadi yang indah dan disukai Allah dan orang lain. Boleh jadi paras kita tidak begitu menarik, tapi pribadi kita menawan semua orang.
Syarat keindahan ke dua adalah keserasian. Apapun yang tidak serasi akan jauh dari keindahan. Keserasian, intinya kita harus proporsional dan tepat dalam bertindak, berbicara, berpenampilan. Dalam keserasian ini, termasuk pula cara hidup yang tidak melebihi kemampuan dan kenyataan. Hidup yang proporsional. Caranya, kita harus mengendalikan keinginan, jika ingin membeli suatu barang. Ingat, yang paling penting adalah bertanya pada diri apa yang paling bermanfaat dari barang yang kita beli. Buatlah skala prioritas. Misalnya, haruskah membeli sepatu seharga 1 juta rupiah, padahal keperluan kita hanya berupa sepatu olahraga. Apalagi di hadapan tersedia aneka pilihan harga, mulai dari yang 700 ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 50 ribu rupiah. Mereknya pun beragam, tinggal dipilih mana kira-kira yang paling sesuai. Nah, jika kita ada dalam posisi seperti ini, maka carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong ketika memakainya, yang paling tidak menyiksa diri dalam merawatnya, dan
yang paling bisa bermanfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut. Hati-hatilah, sebab yang biasa kita beli adalah mereknya, bukan awetnya, karena kalau terlalu awet pun akan bosan pula memakainya.
Syarat keindahan berikutnya adalah perawatan. Taman bagus tapi tidak dirawat, maka keindahannya akan pudar. Gigi rapi tapi tidak terawat, maka akan mendatangkan banyak masalah. Motor baru dan mahal tapi jarang dirawat akan cepat rusak. Tubuh tidak dirawat dengan olahraga, maka akan cepat rapuh dan tidak kelihatan bugar.
Perawatan itu adalah salah prasyarat paling esensial dalam keindahan. Iman kita pun harus sering dirawat, agar tidak cepat rusak. Dibanding yang lainnya, perawatan iman harus lebih intensif dilakukan, bahkan setiap waktu. Dengan dzikir, shalat, sedekah, shaum (puasa), membantu kaum dhuafa, ikut Majlis Taklim. Wallahu a'lam bish-shawab.